The Afternoon (One-Shot)

Genree: Romance, Drama

Rated: T

Warning: Yuri, AU, OOC

Cast: Seohyun, Yoona

Do Enjoy, People…

Seperti sebuah pertemuan seharusnya, acap kali tidak berkesan, namun dalam beberapa kesempatan, pertemuan meninggalkan jejak yang jelas dalam ingatan. Kadang dirasakan oleh kedua belah pihak, kadang tidak berbalas.

Bagi Seohyun, siang itu sama seperti biasanya. Dia memesan dua shot espresso untuk menghilangkan penat yang mulai mendera. Percakapan, kejadian, tidak pernah henti terekam dalam kepalanya. Seohyun tidak pernah hidup pada saat ini, dia selalu terpaut dengan masa lalu dan masa depan. Masa ini menjadi tidak relevan.

Dia duduk dengan tenang di sisi jendela, sesekali menyesap kopi sambil membaca jurnal. Keningnya berkerut dalam dan bibirnya mengatup rapat. Siapapun yang melihatnya, akan mengambil kesimpulan bahwa dia tengah menghadapi masalah yang pelik, namun tidak, saat ini adalah saat yang paling dinikmati oleh Seohyun dalam kesehariannya.

Kedai kopi dan tempat duduk kesukaannya. Setiap hari dia akan mampir ke kedai ini untuk membeli kopi. Sejauh ini, salah satu tempat yang dapat menyediakan rasa kopi terbaik, setidaknya dibandingkan dengan kedai kopi lain di sekitar tempat kerjanya.

Siang ini ada yang berbeda, barista yang tadi melayani kopi pesanannya menghampiri mejanya beberapa kali. Mengelap meja sementara kopinya baru setengah terminum, menanyakan kembali apa yang dibutuhkannya. Meski tidak beralasan, karena Seohyun akan memesan di kasir jika membutuhkan hal lain.

Hingga untuk keempat kalinya, barista itu kembali menghampirinya. Seohyun mengangkat wajah dan memandangnya dengan rasa jengkel.

Namun barista itu tersenyum lebar.

“Ya?” tanya Seohyun, kerutan pada keningnya mendalam, menahan dirinya kuat-kuat untuk tidak berdecak kesal.

“Apa kau bekerja di dekat sini, unnie?”

Seohyun tidak menjawabnya, “Apa ada yang kau butuhkan dariku?”

Dia menggeleng.

“Jika ada hal lain yang kubutuhkan, aku akan meminta bantuanmu.” Kalimat terakhir Seohyun sambil memaksakan seulas senyum, kemudian kembali menunduk dan terpaku dengan jurnal di pangkuannya.

“Apa kau selalu memesan dua shot espresso seperti tadi?”

Pura-pura tidak mendengar, Seohyun terdiam, mengabaikannya.

Tidak mendapat jawaban, gadis itu berlalu meninggalkannya. Tanpa sadar, Seohyun bernapas lega. Namun, dia hanya dapat menikmati ketenangan itu untuk sementara, karena beberapa menit setelahnya, barista itu kembali menghampirinya membawa sepiring kue dengan garpu kecil di sisinya.

Dia meletakkan piring itu di atas meja. Terpaksa, Seohyun kembali mengangkat wajah dan memandangnya.

“Dariku.” Dia tersenyum lebar.

Bibir Seohyun mengatup rapat. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa, yang pasti dia tidak ingin memakan kue itu.

“Mian, tapi aku tidak makan kue.”

Senyumnya surut seketika, raut wajahnya berubah muram. Sedikit banyak membuat Seohyun merasa tidak tega.

Akhirnya dia menjulurkan tangan, “Aku Seohyun, siapa namamu?”

Keceriaan dan rona pada wajahnya berangsur kembali, “Im Yoona.” Dia menjabat tangan Seohyun, sedikit lebih lama daripada seharusnya. Hingga Seohyun menarik tangannya.

“Mian, tapi aku benar-benar tidak bisa makan kue.”

“Menjaga berat badan?”

“Menjaga asupan karbohidrat.” Seohyun menjawab singkat dan tersenyum tipis, kembali menunduk dan mengabaikan Yoona yang masih berdiri di sisinya.

“Aku baru di sini. Mungkin kau tidak pernah melihatku sebelumnya.”

Seohyun menyesap cangkir kopinya, tidak mengacuhkan Yoona yang sepertinya tengah berbicara padanya.

Lagipula, meski setiap hari datang ke tempat ini, Seohyun tidak memperhatikan satu pun wajah orang-orang di sekitarnya, dia tidak tahu bagaimana wajah barista yang selalu melayaninya.

Yoona satu-satunya pegawai di sini yang berusaha berbicara dan mencari perhatiannya. Mencari perhatian. Tentu saja, karena untuk kelima kalinya dia berdiri di sini, berusaha mengajak Seohyun berbicara. Meski tidak menghiraukannya, Seohyun sadar apa yang tengah dilakukannya.

“Apa kau akan datang ke sini lagi besok?”

Pertanyaan terakhir yang membuat Seohyun merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas meja, menumpuk jurnalnya dan bangkit berdiri.

“Kurasa.” Jawab Seohyun akhirnya, “Aku harus pergi sekarang, terima kasih atas kuenya.”

Yoona kembali tersenyum, namun tidak selebar sebelumnya. Menyadari Seohyun beranjak pergi karena merasa terganggu olehnya.

Pertemuan ini, sangat berkesan bagi Yoona. Saat wanita itu melangkah masuk dan berdiri di hadapannya. Menyebutkan pesanannya tanpa berpikir. Dia berjalan pasti menuju kursi di sisi jendela, langsung tenggelam dalam kesibukannya. Pasti pelanggan di kedai ini.

Yoona berusaha mengalihkan pandang, namun matanya selalu mengarah pada wanita itu. Hingga pada akhirnya dia memberanikan diri dan berjalan mendekat. Meski gagal, dan tidak diacuhkan pada akhirnya, tapi dia merasa puas dapat melihat Seohyun dari dekat. 

Gerakan tangannya yang perlahan, matanya yang menatap saksama. Gerak-geriknya tampak begitu hati-hati dan penuh perhitungan. Bagi Yoona, Seohyun adalah perempuan paling anggun yang pernah dilihatnya, dan dia ingin terus melihatnya.

Pertemuan yang berkesan, meninggalkan jejak yang jelas dalam ingatan. Kadang dirasakan oleh kedua belah pihak, kadang tidak berbalas.

****

Tepat pukul 12 siang. Kaki Yoona bergerak gelisah, dia berjalan kesana kemari meski belum ada pelanggan yang datang. Merasa tidak sabar menunggu kedatangan Seohyun ke tempat kerjanya.

Kepalanya selalu menoleh cepat setiap kali mendengar suara denting pintu terbuka, setengah jam sudah berlalu, namun tidak ada tanda-tanda kehadiran Seohyun sama sekali. Sedikit banyak membuatnya menyesal telah mengganggu Seohyun seperti kemarin. Mungkinkah dia tidak mau lagi datang kemari karena Yoona?

Kekhawatiran yang tidak beralasan, karena pada detik berikutnya, Seohyun kembali muncul, dengan langkah pasti berjalan ke arah kasir untuk memesan. Hampir berlari, Yoona mendorong temannya yang tengah menanyakan pesanan Seohyun.

“Seperti kemarin?”

Seohyun sedikit tergelak melihat wajah Yoona tiba-tiba berada di hadapannya. Sedikit jengkel karena harus bertemu lagi dengannya. Semoga Yoona tidak mengganggunya lagi seperti sebelumnya.

Seohyun mengangguk, menanggapi pertanyaan Yoona. Dia berlalu dan kembali duduk di tempat favoritnya.

Tidak lama sebelum Yoona menyajikan secangkir kopi di hadapannya.

“Jika kau tidak bisa makan kue, apa ada hal lain yang bisa kau makan? Aku ingin mentraktirmu lagi.”

“Tidak, terima kasih. Aku tidak ingin makan apapun saat ini.”

“Bagaimana dengan kopi karamel buatanku? My very own signature.”

Seohyun kembali menggeleng. “Ini saja. Terima kasih, Yoona-ssi.” Dia tersenyum tipis.

Hari ini Seohyun tidak datang dengan tumpukan kertas seperti kemarin, dia hanya membawa tablet dan tampak saksama membaca sebuah artikel di sana.

Yoona membaca judul artikel sambil bergumam, “Peresmian sekolah robotik oleh CEO Kim Taeyeon… woah daebak.”

Seohyun menengadahkan kepalanya dengan raut wajah jengkel. Menyadari Yoona tengah membaca artikel yang dibacanya. Sangat tidak sopan bagi Seohyun.

“Mian, Yoona-ssi, aku suka menghabiskan waktu sendirian di siang hari. Jika kau tidak keberatan, bolehkah tinggalkan aku dan hanya datang jika aku membutuhkan sesuatu darimu?”

Yoona tertegun mendapatkan teguran seperti itu. Mulai menangkap rasa jengkel yang dirasakan oleh Seohyun, meski disampaikan dengan sangat sopan. Dia segera membungkukkan tubuhnya berkali-kali dan meminta maaf.

Meski Yoona tidak pernah melepaskan pandangannya dari Seohyun, dia berusaha keras untuk tidak mengganggunya lagi siang itu.

Seohyun, bersyukur akhirnya dapat menghabiskan siang hari dalam keriuhan pikirannya sendiri.

****

Langit tampak menguning pada pukul 5 sore. Yoona mengelap meja dengan perlahan. Wajah Seohyun masih begitu lekat dalam ingatannya, namun dia harus menunggu lagi hingga esok siang sebelum dapat bertemu dengannya. Menyebalkan. 

Membayangkan dapat melihat wajahnya dan berbicara lagi dengannya seperti tadi, membuat perut Yoona bergolak karena rasa antisipasi.

Hari ini dia mengisi shift salah satu teman kerjanya yang absen karena urusan mendadak. Jadi Yoona akan menghabiskan waktunya di sini hingga kedai tutup.

Beberapa meja terisi oleh pengunjung. Sore berjalan lambat bagi Yoona. Rasanya dia sudah menghabiskan ratusan tahun hingga langit benar-benar menggelap. Hingga pukul 7 malam, Yoona mendengar pintu kedai kembali berdenting.

Wajah Seohyun yang kuyu dan kusam kini berdiri kembali di hadapannya, untuk kedua kalinya hari ini. Mendadak Yoona merasa bersemangat. Rasa geli dalam perutnya kembali datang.

“Aku tidak merekomendasikan dua shot espresso seperti biasanya, karena ini sudah malam.” ujarnya spontan, kemudian tersenyum lebar, “Mau pesan apa, unnie?”

“Kau bekerja sepanjang hari di sini?”

“Hanya hari ini saja, apa kau senang bertemu denganku?”

Seohyun tidak mengacuhkannya dan langsung memesan. “Coklat panas saja.”

“Tidak lapar?”

Seohyun menggeleng. “Hmn, seperti tadi siang, aku ingin bekerja di sini, mohon tidak menghampiriku kecuali saat aku membutuhkan sesuatu.”

Kalimat lain dari ‘Jangan ganggu aku’.

“Well noted!”

Segera setelah duduk di kursinya, Seohyun membuka laptop dan terfokus pada pekerjaannya. Tidak begitu menyadari berapa lama waktu telah berlalu. Juga tidak menyadari pengunjung yang pergi satu per satu, hingga hanya tersisa dirinya dan Yoona di tempat ini.

Dia berusaha menyelesaikan pekerjaannya yang terbengkalai karena rapat yang tiada henti seharian ini. Membayangkan harus pulang ke apartemen dan bekerja sendirian membuat Seohyun memutar balik mobilnya dan pergi ke tempat ini.

Akhirnya dia berhasil menyelesaikan target pekerjaannya hari ini. Seohyun menutup laptop dan melihat ke arah jam tangannya. Pukul 12 malam?

Detik itu dia mulai menyadari kondisi di sekitarnya, kedai telah kosong tanpa satu pun pengunjung. Keningnya berkerut. Kenapa kedai ini masih buka? Tidak ada seorang pun yang menghampirinya dan memberitahu jika kedai akan tutup.

Di ujung ruangan, Seohyun melihat Yoona tertidur di atas meja, dia menutup wajahnya dengan sebelah lengan. Seohyun juga melihat tanda “TUTUP” telah dipasang di luar kedai. Dengan perlahan dia berjalan menghampiri Yoona, menyentuh dengan hati-hati.

Yoona terkesiap dan langsung menegakkan tubuhnya. Wajahnya merah karena cukup lama disandarkan di lengan, tampaknya dia tertidur sangat pulas sejak tadi.

“Unnie! Maaf aku tertidur sejak tadi.”

“Mian, aku tidak sadar bahwa sudah selarut ini. Jam berapa kedai seharusnya tutup?”

“Jam 9, tidak apa-apa. Aku juga malas sekali pulang ke goshiwon tadi.” Ujar Yoona, sambil menyeringai ke arah Seohyun.

Seohyun mengangguk. Dia memandang Yoona sejenak, merasa tidak tega meninggalkannya seperti ini. Meski dia sangat tergoda untuk pergi meninggalkan tempat ini dan segera beristirahat di apartemennya. Namun Yoona tertidur di atas meja, membiarkan kedai tetap buka hingga tengah malam karenanya.

“Apa kau tinggal di dekat sini?”

Yoona menggeleng, “Ah, aku hanya perlu satu kali naik bus dari sini.”

“Dimana?”

“Dongjak-gu. Pulanglah unnie, aku hanya perlu membereskan gelasmu, dan bisa pulang setelahnya.”

Dongjak-gu, Seohyun memperhitungkan dalam hati, berapa waktu yang dibutuhkan oleh Yoona untuk pulang ke goshiwon, dia membutuhkan waktu satu jam untuk pulang, jika bus segera datang saat dia sampai di halte. Malam sudah begitu larut, jalanan di depan kedai tampak lenggang, hanya ada satu dua orang yang berseliweran sesekali.

“Aku akan mengantarmu ke halte.”

“Sungguh, aku bisa berjalan sendiri ke halte.” ujarnya sambil bangkit berdiri dan berjalan ke arah meja tempat Seohyun duduk tadi, dengan sigap dia mengambil gelas dan mengelap mejanya.

Seohyun meletakkan tas di atas meja dan duduk sambil melihatnya bekerja. Menunggunya.

“Aku tinggal di dekat sini.” Ujar Seohyun akhirnya, memecah suara denting gelas yang diselimuti kesunyian sejak tadi. “Apartemenku.”

Yoona mengangkat wajahnya dan menatap Seohyun, menduga apa maksudnya memberikan informasi tersebut.

“Maka dari itu sebaiknya kau pulang, unnie. Aku tahu kau pasti kelelahan tidak berhenti kerja seharian ini.”

‘Kau bisa menginap di tempatku malam ini’, kalimat yang begitu ingin diucapkan Seohyun. Karena Yoona tidak salah, dia merasa sangat lelah saat ini, membayangkan harus mengantar Yoona ke halte, menunggu hingga busnya datang, lalu harus menyetir mobilnya kembali ke apartemen. Akan sangat efisien, jika Yoona menginap di tempatnya.

Namun Seohyun merasa khawatir akan terdengar aneh jika dia mengajak Yoona menginap, sementara mereka baru mengenal satu sama lain dua hari ini, dengan percakapan yang sangat minimal.

Yoona di sisi lain, setelah mengeringkan gelas dan meletakkannya di rak, mulai memahami pernyataan Seohyun tadi. Mulai bertanya dalam hati, apakah Seohyun mengajaknya menginap di apartemen?

“Unnie, apa…”

“Ya, ya, kau boleh menginap di tempatku.”

Keduanya tertegun dengan kesepakatan yang mereka buat tanpa disadari.

Seohyun menghela napas, “Tidak apa-apa, kan? Berjalan sendirian dan menunggu bus di halte selarut ini, sangat berbahaya untukmu.”

Seohyun juga menyadari, Yoona mengisi dua shift hari ini. Bekerja tanpa henti sejak pagi tadi, dan harus pulang terlambat karenanya. Melakukan perjalanan satu jam untuk sampai ke goshiwon. Mungkin Yoona baru bisa benar-benar istirahat jam 3 pagi?

Yoona tersenyum semringah, meski rasa lelah tergambar pada wajahnya. Dia mengangguk dan mengambil tas ranselnya. Bersama mereka berjalan keluar dari dalam kedai.

Seohyun hanya bergeming sepanjang perjalanan, fokus menatap jalanan di hadapannya.

Kepala Yoona terlempar ke belakang beberapa kali karena rasa kantuk yang tidak dapat ditahannya. Duduk di dalam mobil mewah seperti ini, kursi yang empuk dan deru angin dari pendingin kabin. Yoona juga dapat menghirup aroma vanilla yang samar. Mobil yang dikendarai Seohyun bergerak perlahan, membuat mata Yoona kembali menutup.

Hingga ketika mobil akhirnya berhenti, Seohyun menepuk bahu Yoona perlahan untuk membangunkannya. Mereka naik, menuju apartemen Seohyun. Meski rasa kantuk masih menyelimutinya, Yoona berdecak kagum sepanjang perjalanan menuju apartemen Seohyun.

Koridor dengan karpet yang terlihat mewah, saat mereka tiba di lantai tempat unit Seohyun berada, hanya ada dua pintu di sisi kiri dan kanan mereka.

“Unnie, hanya ada dua apartemen saja di lantai ini?”

“Unit lain memiliki akses lift yang berbeda.”

Yoona kembali berdecak kagum, membayangkan goshiwonnya dengan koridor kecil dan lima belas kamar berada dalam satu lantai.

“Apa kau sudah lulus kuliah?” tanya Seohyun sambil membuka pintu dan menyalakan lampu.

“Aku tidak kuliah.” jawab Yoona singkat, membuat Seohyun sedikit menyesal melayangkan pertanyaan seperti itu secara spontan. “Sejak lulus sekolah, aku membantu kedua orangtuaku mengurus sawah, lalu aku memutuskan untuk pergi ke Seoul dan mencoba peruntungan di sini.” Yoona kembali melanjutkan, tampak tidak terganggu dengan pertanyaan itu.

Seohyun hanya mengangguk. Pikirannya mulai fokus pada area sofa yang akan menjadi tempat tidur Yoona. Apakah dia tidak keberatan tidur di sofa ini?

Detik berikutnya Yoona sudah duduk di sofa itu dan bersandar dengan nyaman, dia mengerang, seperti hampir menangis, “Sofa ini empuk sekali.”

Seohyun tersenyum, akhirnya merasa bersyukur dia membeli sofa besar dan nyaman itu secara impulsif, meski harganya sangat mahal, di luar perkiraannya.

“Kamar mandi ada di sebelah sana, kamarku ada di sini. Silakan ambil apapun yang kau mau dari dapur, jika membutuhkan hal lain, ketuk saja kamarku.” Seohyun terdiam sejenak, menimbang-nimbang untuk mengucapkan kalimat selanjutnya, “Terima kasih sudah menungguku tadi, Yoona-ssi.”

Segera setelah Seohyun menutup pintu, Yoona berjalan ke arah meja bar yang membatasi area dapur dan ruang tamu. Dapurnya terasa begitu mewah, dengan meja marmer yang berkilauan di bawah cahaya lampu. Dia membuka kulkas, dan kosong.

“Apanya yang mau diambil?” gerutu Yoona. Hanya ada air kemasan dan beberapa botol susu di dalam kulkas ini.

Apartemen ini sangat luas dan terasa lengang. Dan sunyi. Sama seperti Seohyun.

Yoona mengambil sebotol air kemasan dari dalam kulkas dan berjalan ke arah jendela. Jendela yang sangat besar, memberikan pemandangan langsung ke arah pusat bisnis Kota Seoul.

Menyadari dia ada di sini malam ini, karena Seohyun khawatir dan begitu memikirkannya, membuat hati Yoona menghangat. Yoona mulai menyadari, di balik diam dan sunyi wanita itu, dia memikirkan dan mempertimbangkan banyak hal, termasuk keselamatan Yoona hari ini.

Seohyun saat ini terduduk di atas kasurnya, bersiap untuk tidur, mendengar suara langkah kaki Yoona bergerak kesana kemari, sesekali berseru kegirangan. Entah apa yang sedang dilakukannya. Untuk pertama kalinya sejak dua tahun Seohyun tinggal di apartemen ini, dia tidak sendiri.

Dinding yang membatasi, rasa hangat yang sama. Menelusup perlahan di hati keduanya. Memandang jendela, dan untuk pertama kalinya, mereka berdua menikmati pemandangan kota Seoul yang begitu indah.

****

Yoona terkesiap, membuka mata diiringi rasa panik yang menyergap tiba-tiba. Akhirnya dia terbangun karena rasa hangat mulai menusuk dari jendela besar apartemen. Ugh! Jam berapa sekarang? Yoona mengambil ponselnya dan menghela napas lega. Masih pukul 10 pagi, hari ini dia mengisi shift siang, setidaknya ada waktu beberapa menit untuk bersiap.

Sejenak kemudian dia mengerjapkan mata beberapa kali, baru menyadari bahwa dia tidak sedang berada di dalam ruang sempit kamar goshiwon. Aroma lavender yang samar memanjakan hidungnya, tidak seperti kamar goshiwonnya, entah apa bau yang selalu dihirupnya setiap hari, seperti aroma debu dan keringat yang bercampur.

Dia menyadari tengah berbaring di sofa yang empuk dan lapisan kain yang sangat lembut berwarna abu-abu gelap. Lalu jendela di depan matanya yang begitu besar dan saat melihat ke bawah, terlihat pemandangan Kota Seoul yang sibuk. Seperti hari lainnya, namun baru kali ini dia dapat melihat dari tempat setinggi ini.

Apartemen Seohyun! Yoona menyeringai girang menyadari dia menginap di tempat ini semalaman. Kemudian fakta bahwa Seohyun menunggunya selesai bekerja dan mengajaknya untuk menginap di sini. Dengan rasa hangat yang menelusup seperti ini, rasanya hari ini akan lebih menyenangkan dari hari biasanya. Dia cukup mengingat fakta barusan.

Namun dimana Seohyun sekarang? Kenapa dia tidak dibangunkan?

Yoona kembali mengambil ponselnya, mendapati ada satu pesan tidak terbaca.

Mian, aku menyimpan nomormu saat kau tertidur tadi. Setelah kau pergi dari apartemenku, tutup saja pintunya. Tidak perlu akses untuk turun ke lobby. – Seohyun.

Unnie! Terima kasih sudah menampungku semalam. Wah, sofa ini benar-benar nyaman. Ngomong-ngomong, sudah dari jam berapa kau berangkat kerja? Aku sudah bangun sekarang, aku menumpang mandi di tempatmu, ya? Oh aku ambil susu dari kulkasmu. – Yoona

Apa kau akan datang ke kedai siang ini? Aku mengisi shift siang, jadi kita akan bertemu seperti biasa. 😀 – Yoona

Yoona mengetukkan jarinya di atas permukaan sofa, tidak berniat menimbulkan suara, hanya meredakan rasa gelisah menunggu balasan Seohyun. Rasanya sulit dipercaya Seohyun menyimpan nomornya saat dia tertidur. Dan… sekarang dia bisa menghubungi Seohyun kapanpun.

Sepuluh menit berlalu, tidak ada balasan dari pesan terakhirnya. Hmn, mungkin dia sedang sibuk bekerja.

Yoona beranjak bangkit bersiap untuk mandi. Dia terkesiap saat kakinya melangkah memasuki ruang kamar mandi bernuansa gelap ini, seluruh lantai dan dinding dilapisi oleh marmer yang berkilauan di bawah cahaya lampu. Yoona terdiam sejenak, menimbang sesuatu. Yap, benar, luas goshiwonnya sebesar kamar mandi apartemen Seohyun.

Dia melarikan jemarinya menyentuh botol-botol kaca berwarna gelap yang tersusun dengan sangat rapi di atas counter. Matanya memicing mengamati label pada botol, menyadari bahwa botol ini disusun berdasarkan fungsi dan aroma. Terdapat jeda yang sangat tipis antara setiap kategori. Shampoo dan sabun dengan aroma yang sama tersusun berdekatan, kemudian jeda selebar dua sentimeter, begitu juga dengan kategori berikutnya, sangat presisi.

Dia membuka laci counter dan mendapati handuk yang terlipat dan tersusun dengan rapi, sama seperti botol di atas meja, handuk ini disusun berdasarkan warna dan ukuran. Yoona mulai merasa takut untuk mandi di sini, membasahi dan mengotori lantai mewah ini. Apakah Seohyun akan marah padanya dan tidak lagi mengijinkannya untuk datang? 

Yoona tertawa ironis dalam hati, ekspektasi yang sangat besar dan tidak realistis, berharap Seohyun akan mengajaknya lagi. Kejadian semalam adalah kebetulan, dan Seohyun pasti merasa bersalah karena membuatnya menunggu di luar jam kerjanya.

Dia memutuskan untuk tidak menghiraukannya dan melangkah masuk ke dalam area shower, menutup pintu. Memejamkan mata dan menghela napas menikmati siraman air panas yang menyentuh kulitnya. Untuk beberapa menit, rasa lelahnya seperti terangkat begitu saja.

Setelah selesai mandi, Yoona mengambil beberapa lembar tissue dan mengelap lantai yang tidak sengaja dibasahi olehnya. Dia tidak tahu dimana Seohyun menyimpan peralatan untuk membersihkan area apartemen, jadi dia memilih opsi yang mudah.

Yoona kembali mengecek ponselnya setelah siap untuk berangkat, tidak ada balasan dari Seohyun. Dia berdeham, meredakan rasa kecewa yang datang tiba-tiba. Tentu saja tidak ada alasan bagi Seohyun untuk menjawab pertanyaan tidak penting seperti itu. Pasti buang-buang waktu baginya.

Yoona masih berharap dia dapat bertemu lagi dengannya siang ini, di kedai, seperti biasa. Dengan harapan sederhana itu, senyumnya kembali mengembang. Dia melangkah mantap, bersiap menjalani harinya.

****

Seohyun berangkat ke kantor sejak jam 7 pagi tadi, dia menimbang untuk menulis pesan untuk Yoona di atas kertas, namun takut gadis itu tidak membaca kertasnya, sehingga memutuskan untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di lantai. Meski merasa ragu, dia memutuskan untuk memasukkan nomor ponselnya ke dalam kolom pencarian akun KakaoTalk milik Yoona. Untungnya Yoona tidak memproteksi ponselnya.

Pesan singkat terasa lebih efisien.

Setelah mengirimkan pesan singkat untuk Yoona, Seohyun langsung disibukkan oleh dua rapat di pagi hari. Rapat pertama dengan CEO perusahaannya, Kim Han Seung, mendiskusikan proyek yang kemungkinan besar akan ditangani oleh perusahaan mereka, proyek yang telah diamati oleh Seohyun sejak bertahun-tahun lalu. Nama perusahaan yang dalam beberapa tahun terakhir selalu muncul dalam kepalanya, bahkan saat dia tidak menginginkannya.

“Salah satu anak perusahaan Joheun Corp tengah mengembangkan lini bisnis baru mereka, fokus pada teknologi dan robotik. Kemungkinan mereka akan membutuhkan kita dalam merancang pemrograman untuk mereka, hal bagus, karena bisa saja mereka melakukannya sendiri. Mempekerjakan orang-orang yang ahli.”

“Lalu kenapa mereka memilih kita?” Seohyun menengadahkan wajahnya dan menatap si CEO dengan lamat.

Our expertise? Meski mereka bisa mempekerjakan orang lain, mereka belum tentu bisa melakukan apa yang kita lakukan di sini. Kerahasiaan juga menjadi isu mereka. Apparently, they trust us to be the best in our domain. Honestly, Seo, all thanks to you.”

Seohyun mengernyit mendengar CEO bodohnya ini suka sekali mencampurkan bahasa inggris dalam setiap percakapan, tidak perlu. Namun seperti ingin menekankan bahwa dia telah menghabiskan sepuluh tahun hidupnya di Amerika dan terakhir berhasil mendapatkan gelar magister dari MIT.

“Apa kau sudah bertemu dengan CEO Joheun Robotics and Technology?”

Kim Taeyeon? Nope, we communicate through email. But… will set up a follow up meeting, face to face.”

“Aku tidak ingin ikut serta dalam meeting ini, bisakah?”

Han Seung mengernyit, menggaruk dagunya, matanya bergerak seperti tengah mempertimbangkan. “Kenapa?”

“Aku akan menjalani proyek ini dan mensupervisi secara langsung, namun CEO Kim Taeyeon tidak perlu tahu bahwa aku adalah orang yang akan terlibat langsung.”

Well, namamu ada di dalam portfolio perusahaan?”

“Ya, dan kau bisa bilang ada team lain yang akan terlibat untuk proyek mereka. Bukan aku.”

But you’re the CTO? You must supervise all project, no? Setidaknya beritahukan alasannya?”

“Alasan personal.”

“Seo, kita sudah kenal berapa tahun? Delapan, sembilan tahun? Kenapa kau masih kaku seperti ini?”

Seohyun tidak menjawab pertanyaan Han Seung, fokus membolak-balik dokumen yang terbuka di hadapannya.

Tidak lama Han Seung menghela napas. “Oke, oke, aku akan lihat apa yang bisa kulakukan soal ini. Ah, satu hal, apa kau kenal dengan Kim Taeyeon secara personal?”

Seohyun mengangkat wajahnya dan menatap Han Seung lama. Apakah Seohyun mengenalnya? CEO Kim Taeyeon, betapa seringnya wajah itu muncul dalam ingatannya, begitu lekat. Hingga tidak ada hal lain lagi yang pernah dipikirkannya dalam lima belas tahun terakhir. 

Perlahan Kim Taeyeon menjadi obsesi dalam hidupnya, dia bangun dan menjalani hari-harinya karena orang itu. Dia mencapai posisinya hari ini, di umur semuda ini, seorang perempuan tidak lebih, karena Kim Taeyeon.

Hingga hari ini datang, hari dimana hidup mereka kembali bersinggungan. Hari dimana Taeyeon datang dan membutuhkannya. Sungguh hidup memang mengejutkan.

Namun, “Tidak, aku tidak mengenalnya secara personal. Hanya untuk kali ini, aku tidak ingin bertemu dengan klienku secara langsung.” akhirnya ini yang menjadi jawaban Seohyun atas pertanyaan Han Seung.

Setelah itu, Seohyun mengadakan rapat singkat dan menunjuk penanggung jawab, yang akan menghadiri rapat dengan Kim Taeyeon, setidaknya akan ada orang dari tim-nya yang akan mendengarkan secara langsung hasil rapat. Dia tidak percaya Han Seung bisa menyampaikan hasil rapat dengan akurat.

****

Seohyun membaca dua pesan singkat dari Yoona. Mengetik beberapa kata kemudian menghapusnya dan menaruh ponselnya ke atas meja. Bergidik membayangkan Yoona akan mengotori kamar mandinya, dan menghela napas. Dia bisa memanggil jasa kebersihan saat pulang nanti. 

Ahjumma yang sudah sangat mengerti kebutuhan dan preferensi Seohyun, bagaimana dia ingin semua benda diletakkan pada tempatnya secara akurat dan spesifik. Lantai dan dinding dibersihkan dengan cairan khusus yang sudah diinfokan sebelumnya. 

Dia butuh lapisan marmer itu tetap mengkilap di bawah cahaya lampu, tanpa bercak sedikit pun. Sedikit banyak Seohyun merasa lega akhirnya ada orang yang dapat mengerti dan melakukan apa yang dia inginkan. Setelah berganti orang hingga kedua puluh kalinya.

Seohyun kembali menjelajah ingatannya tadi pagi. Terasa tidak sopan, namun dia memandangi Yoona yang tengah tertidur pulas, pagi itu dia tersadar. Yoona benar-benar cantik. Tampak begitu tenang dan mempesona, bibirnya yang tipis mengatup. Kemudian Seohyun mengingat mata Yoona yang indah selalu berbinar setiap kali melihatnya. Tidak dapat lagi memungkirinya, dia merasa Yoona memiliki fisik yang menarik.

Dia melihat jam, sudah pukul 12 siang, biasanya dia akan pergi ke kedai kopi langganannya. Entah mengapa, membayangkan wajah Yoona akan kembali menyambutnya membuatnya enggan. Menghadapi entah apa pertanyaan yang dilayangkannya, yang pasti akan membuatnya canggung. Terutama setelah dia menginap di tempatnya semalam.

Namun, membayangkan senyuman Yoona mengembang saat kakinya melangkah masuk, juga membuat Seohyun ragu. Dia ingin melihat senyuman itu lagi, setidaknya satu-satunya orang yang tersenyum tulus padanya. Seperti seorang… teman? Sudah lama sekali.

Tanpa disadari, Seohyun sudah berada di depan pintu kaca dengan papan yang bertuliskan “Buka” di depannya. Dia melangkah masuk. Secara refleks kepalanya bergerak mencari-cari keberadaan Yoona. Dari tempatnya berdiri, dia menemukan Yoona, sedang mengelap salah satu meja di ujung ruangan, bersebrangan darinya, tidak menyadari kehadirannya.

Yoona menguncir rambutnya dengan asal-asalan, masih dengan pakaian yang dikenakannya semalam. Dia terdiam sejenak, entah mengapa menatap tubuh ramping Yoona dengan saksama dari sini. Hingga akhirnya seperti tersadar, dia mengalihkan wajah dan berjalan menuju kasir.

Wajah yang asing menyambutnya, sepertinya Yoona belum menyadari kehadirannya, karena terakhir Yoona mendorong kasir yang melayaninya lalu secara tiba-tiba muncul di hadapannya dengan senyum semringah.

Seohyun berdeham. Dia berusaha memendam pikiran ini jauh-jauh, namun sungguh dia berdeham untuk menarik perhatian Yoona.

“Hmn, apa yang ingin kau pesan, Noona?”

Seperti tersadar, Seohyun mengerjap, kembali fokus pada wajah di hadapannya.

“Dua shot espresso.”

“Baiklah, itu saja untuk pesanannya?”

“Hmn, setelah kupikir lagi, ganti dengan segelas cappucino saja. Hangat.”

“Baiklah, Noona.”

Seohyun membayar dan seperti biasa, langsung menuju tempat kosong di sisi jendela. Lagi-lagi kepalanya menoleh mencari keberadaan Yoona. Namun tidak dapat menemukannya. Dimana gadis itu sebenarnya? Kenapa menghilang?

Seohyun membuka jurnal yang dibawanya dan berusaha fokus. Namun entah mengapa, pendengarannya berusaha mencari-cari suara langkah kaki mendekat. Tidak juga. Hmn.

Tidak lama seseorang menghampirinya, mata Seohyun bergerak dan mendapati sepasang kaki tengah berdiri di sisi kursinya.

“Satu cappucino hangat.”

Kelegaan menelusup mendengar suara yang familier itu. Dia menengadah dan melihat senyuman Yoona mengembang. Seohyun ikut tersenyum. Sebelum dia mengatupkan bibirnya rapat-rapat detik setelahnya. Dia tidak dapat mengenyahkan suara-suara dalam kepalanya memberitahu hal yang sudah jelas. Bahwa senyuman Yoona sangat manis.

Setelah meletakan cangkir di atas meja, Yoona membalikan tubuhnya, bersiap untuk meninggalkan Seohyun.

“Uh, Yoona-ssi…”

Yoona menoleh cepat.

“…Apa…” Seohyun terpaku di tengah-tengah, karena dia tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan.

Kenapa dia memanggil Yoona?!

“Ya?”

Seohyun berdeham, mencari-cari pertanyaan yang… masuk akal? Oh, bagaimana dengan pengalamannya mandi tadi pagi? Atau susu di dalam kulkas apakah masih layak diminum?

“Bagaimana tadi…”

“Mian!” tiba-tiba Yoona menundukkan kepalanya. “Aku mengotori kamar mandimu!”

Seohyun terkesiap mendengarnya. Oh? Apakah ini alasan Yoona menghindarinya?

“Mengotori…” Seohyun kembali bergidik membayangkan kekacauan yang terjadi di kamar mandinya. “…apa yang terjadi?” Dia menahan dirinya kuat-kuat untuk tidak segera menelpon Ahjumma dan memintanya datang sekarang juga untuk membersihkan apartemennya.

“Aku berusaha mengelap seluruh lantai kamar mandimu dengan tissue, karena tidak menemukan alat pembersih apapun. Tapi, kurasa aku meninggalkan jejak di sana?”

Seohyun terdiam, memandangnya tidak percaya. Dengan tissue?

“Hmn. Aku tidak pernah membersihkan apartemenku. Ada penyedia jasa kebersihan yang melakukannya.” Seohyun berucap pelan, “Apa kau bisa menemukan semua perlengkapan untuk mandimu tadi?”

“Ya, semuanya tertata dengan sangat rapi.”

Seohyun tersenyum. Sebelum lagi-lagi mengubah ekspresi wajahnya.

Mereka berdiam, Yoona masih berdiri dengan canggung. Sementara tidak seperti biasanya, Seohyun tidak mengenyahkannya, namun menatap wajah Yoona secara lamat. Entah apa yang berubah sejak semalam, ini terasa aneh.

“Apa ada lagi yang kau butuhkan, unnie?”

“Kue yang kau tawarkan waktu itu…”

“Oh! Apa kau ingin mencobanya hari ini?”

“Ya, tapi biarkan aku membayar untuk kuenya. Boleh?”

Yoona tersenyum lagi, “Tentu saja! Kue itu terlihat sangat enak, jadi aku ingin memberikannya untukmu kemarin.”

“Tapi kau belum pernah mencobanya?” Yoona menggeleng, “Baiklah, aku pesan satu.”

Seohyun menelan ludah saat sepiring kue cokelat berada di hadapannya. Hari itu, saat pertama mereka bertemu, dia benar-benar serius mengenai mengurangi asupan karbohidrat, ataupun gula.

Yoona berdiri di sisinya menatap dengan penuh harapan. Seohyun menghela napas dan memotong kue itu secara perlahan, sebelum menyuapkan ke mulutnya. Sama seperti tampilan luarnya, menggiurkan, kue ini rasanya enak.

“Mau?” Seohyun mengangkat garpunya.

“Bolehkah?” Yoona bertanya dengan penuh harapan, sebelum menoleh dan melihat koleganya tengah mengamati mereka berdua. “Ah, aku tidak mungkin mencobanya, bagaimanapun kau adalah pelanggan kami.”

Seohyun mengangguk memahami.

“Baiklah, seperti biasa, aku tidak akan mengganggumu sepanjang kau di sini. Panggil aku jika ada yang kau butuhkan?”

Seohyun kembali mengangguk.

Tanpa Yoona sadari, betapa inginnya Seohyun untuk diganggu olehnya.

Lagi-lagi Seohyun merasa aneh, di saat bersamaan mengabaikan gejolak di perutnya, dan kakinya yang tiba-tiba merasa lemas memandang Yoona berbalik dan berjalan menjauhinya.

Dalam balutan jeans lusuh yang dikenakannya, Seohyun dapat melihat kaki yang jenjang melangkah mantap.

Shit.

****

Pertemuan mereka tidak lagi hanya terjadi di siang hari. Beberapa minggu terakhir Seohyun semakin sering datang setiap pulang kerja ke kafe tempat Yoona bekerja. Entah kenapa, Yoona selalu ada. Apakah dia mengambil shift siang setiap harinya?

Suatu hari, Seohyun menerima pesan Yoona secara tiba-tiba. 

Aku tidak mengisi shift siang hari ini. – Yoona

Hmn, menjawab pertanyaan atas rasa penasaran Seohyun.

Ok. – Seohyun

Apa kau datang ke kedai lagi malam ini? – Yoona

Sejujurnya, Seohyun datang ke kedai, lagi-lagi karena ingin berinteraksi dengan Yoona. Sungguh, akhir-akhir ini dia juga mempertanyakan dirinya sendiri.

Tanpa ragu, Seohyun kembali mengetikkan pesan.

Kupikir kau selalu mengisi shift siang? – Seoyhun

Makanya kau semakin sering datang ke kedai di malam hari? 😉 – Yoona

Oh, aku sudah memastikannya pada salah satu teman kerjaku, kau tidak pernah datang ke kedai kami di malam hari sesering belakangan ini? – Yoona

Ouch.

Kita tidak harus bertemu di kedai, asal kau tahu. Kalau kau mau, kau bisa mengajakku pergi malam ini? – Yoona

Seohyun mengerutkan keningnya. Secara refleks mengingat-ingat restoran tempatnya makan bersama kolega kerjanya. Restoran seperti apa yang cukup pantas untuk mengajak Yoona pergi malam ini.

Detik berikutnya, Seohyun kaget dengan pikirannya sendiri. Kenapa dia melakukan apa yang Yoona katakan?

Hmn, makanan apa yang kau suka? Itali, Perancis atau Jepang? – Seohyun

Ya, sejujurnya dia memang ingin bertemu lagi dengannya.

Unnie! Aku bersyukur bisa makan setiap hari! – Yoona

Tentu saja, Seohyun memaki dirinya sendiri atas pertanyaan yang dilayangkan, dia tahu apa yang dimaksud Yoona, dia mengerti. Bersyukur bisa makan setiap harinya. Kenapa dia mempertanyakan hal seperti itu?

Aku yang tentukan tempatnya. – Yoona

Ok. – Seohyun

Jadi, kau setuju kau memang mau bertemu denganku setiap malam, ya? Makanya selalu datang ke kedai? – Yoona

Seohyun mengetikkan balasan lalu menghapusnya kembali. Beberapa kali. Dia mulai merasa malu atas tuduhan Yoona. Sungguh akurat.

Kencan pertama. – Yoona

Kencan pertama?

Kening Seohyun kembali berkerut dalam.

****

Setelah menyelesaikan shift pagi, Yoona mengirimkan pesan pada Seohyun, memberitahukan bahwa Yoona tidak akan ada di kedai malam ini. Tidak dapat dipungkiri, dia sadar Seohyun datang setiap malam untuk bertemu dengannya. Meski seperti biasa, percakapan mereka sangat minimal dan sekadarnya.

Namun beberapa minggu terakhir, Yoona juga menyadari Seohyun semakin jarang fokus pada buku di atas meja ataupun pada laptop yang dibukannya. Alih-alih pandangan mereka sering bertemu. Terlalu sering, hingga beberapa waktu, Yoona mulai sadar bahwa Seohyun memperhatikannya. Mungkin tanpa dia sadari.

Dia bertanya pada Kwang Soo salah satu teman kerjanya suatu malam, apakah wanita yang selalu duduk di sisi jendela itu memang biasa datang setiap malam, jawaban Kwang Soo membuatnya terkejut. Wanita itu jarang sekali datang di malam hari, mungkin dalam setahun terakhir dapat dihitung jari. Kwang Soo sedikit bingung Seohyun semakin sering muncul di kedai mereka.

“Yang pasti, wanita itu pasti kesepian sekali. Kau perhatikan, deh, setiap pulang kerja dia selalu mampir ke sini, seperti tidak punya kehidupan. Sayang, ya, padahal terlihat kaya. Mobilnya juga mewah.”

Bibir Yoona mengerucut, merasa marah atas pernyataan Kwang Soo, “Setidaknya dia kaya tidak seperti… kita.”

“Iya, sih.”

Saat membaca pesan terakhir Seohyun, bertanya preferensi makanan yang disukainya, Yoona tertawa terbahak-bahak, apakah dia tidak menyadari Yoona bekerja di sebuah kedai kopi kecil setiap harinya? Apakah mungkin gajinya cukup untuk makan di restoran Itali, Perancis atau Jepang? Apakah Seohyun anak orang kaya, sehingga tidak menyadari hal-hal seperti ini?

Di sisi lain, menyadari akan bertemu Seohyun malam ini – di luar jam kerjanya – membuat perut Yoona bergolak karena rasa antisipasi. Begitu tidak sabar akan pertemuan mereka malam nanti. Dia merasa ragu atas tempat yang akan dipilihnya, apakah Seohyun suka? Kedai kecil yang menjual Kimchi Jjigae terenak di seluruh Seoul, setidaknya yang dia tahu.

Salah satu hal yang membuat Yoona sangat tertarik pada Seohyun adalah keanggunannya yang begitu terasa. Aura dingin dan muram yang seringkali muncul, entah kenapa juga menjadi salah satu alasan Yoona begitu menyukainya. Terutama akhir-akhir ini saat Seohyun tanpa sadar lebih sering tersenyum dibandingkan saat mereka pertama bertemu.

Pukul tujuh malam, Yoona sudah duduk di salah satu kursi dalam kedai. Menunggu kedatangan Seohyun. Dia sudah memberikan titik lokasinya tadi siang.

Saat Seohyun melangkah masuk, seperti biasanya napas Yoona tercekat melihat betapa cantik dan anggun wanita di hadapannya. Malam ini Seohyun menggerai rambutnya dan mengenakan blazer berwarna merah dan rok dengan warna senada. Blus merah muda yang dikenakan sungguh terlihat harmonis dengan keseluruhan penampilannya malam ini.

Tentu saja, orang yang menyusun handuk berdasarkan ukuran dan warna tidak mungkin mengenakan sesuatu yang tidak padu?

Yoona menahan dirinya untuk tidak lompat kegirangan dan memeluk Seohyun saat itu juga, karena dia benar-benar datang.

“Yoona-ssi.” Seohyun mengangguk dan dengan luwes duduk di hadapannya. Jemarinya tampak lentik dan indah meski tanpa warna.

“Jadi… Kenapa aku mengajakmu ke sini…”

“Kimchi jjigae terenak di seluruh Seoul? Kau sudah memberitahuku tadi.”

Yoona menyeringai, “Ya… dan itu. Namun alasan utama adalah kau bisa menghindari nasi dan memakan sup saja. Mengurangi asupan karbohidrat, kan?”

Seohyun tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

Hati Yoona menghangat memandangnya.

“Kau cantik sekali, unnie.” Yoona menghela napas dan bergumam, lebih kepada dirinya sendiri. Namun, sepertinya dia berucap lebih kencang daripada dugaannya.

“Mian?” Seohyun mengerutkan keningnya.

Yoona mengibaskan tangannya, berharap Seohyun mengabaikan pernyataannya barusan, “Jadi kau mau pesan apa?”

“Hmn, aku sudah mencari tahu menu yang ada di tempat ini. Membandingkan beberapa ulasan, dan sepertinya menu andalan mereka adalah…” Seohyun terdiam sejenak, membolak-balik halaman menu yang dilaminating. “…kimchi jjigae, pendapatmu akurat. Tapi mereka juga menjual kkimbab yang enak.”

Seperti dugaan Yoona, melihat bagaimana Seohyun, dia pasti sudah mencari tahu mengenai tempat ini sebelum datang.

Yoona tertawa renyah masih memandang Seohyun. Membuat Seohyun menengadahkan wajahnya dan menatap Yoona, sejenak kemudian Seohyun kembali menunduk dengan wajah yang memerah.

Membuat Yoona bertanya-tanya karena seringkali dia mendapati wajah Seohyun memerah setiap kali tatapan mereka bertemu.

Spontan, Yoona menggenggam sebelah tangan Seohyun yang sedang sibuk membolak-balikkan kertas menu, “Jadi, sudah siap memesan?”

****

Angin berhembus lembut dan malam terasa begitu tenang. Seohyun menarik napas dalam-dalam menghirup aroma hutan kota yang lembab sehabis hujan. Mereka berdua duduk di atas kursi taman. Yoona menenggak bir nya sesekali. Tidak lama dia menyalakan sebatang rokok.

“Tidak masalah, kan?”

Seohyun hanya mengangguk. Meski tentu saja, dia lebih memilih tidak menghirup asap rokok.

“Aku tidak tahu kau merokok?”

“Hanya ketika aku minum alkohol.” Yoona tersenyum.

Seohyun kembali terdiam dan memandangi pepohonan yang menutupi hampir seluruh area taman. Samar dia mulai mencium asap rokok Yoona. Dengan kehadiran Yoona dan kehangatan di sisinya, Seohyun tidak keberatan dengan aroma itu.

“Tadi saat di restoran, kau bilang sesuatu tentang, menurutmu aku cantik atau apa, ya?”

“Ouch, kukira kau akan mengabaikannya, ternyata kau peduli juga dengan apa yang kukatakan.”

“Hmn, aku tidak menolak pujian.”

Yoona berdeham, sebelum melanjutkan, “Menurutku kau cantik, unnie.” Tidak lupa, dia memandang Seohyun dalam saat mengucapkannya. Lagi-lagi Seohyun merasa perutnya bergejolak, kali ini jantungnya ikut berdegup cepat.

Seohyun mengalihkan pandangannya, tidak sanggup menatap Yoona lama-lama, “Terima kasih.”

“Dan menggemaskan.”

“Menggemaskan?”

“Karena ternyata kau senang mendengar pujianku. Dan aku memperhatikan setiap kali ada sesuatu yang membuatmu penasaran atau risih, kau akan mengerutkan kening. Seperti sekarang.”

“Oh.”

Keheningan kembali mengisi ruang di antara mereka.

“Yoona-ssi, aku ingin meminta maaf atas pertanyaanku tadi, aku tidak bermaksud menyinggung atau tidak peka dengan kondisimu.”

“Itali, Perancis atau Jepang?” Yoona kembali tertawa, “Jangan terlalu dipikirkan, unnie. Tidak semua orang mengerti kondisiku. Terutama orang sepertimu.”

Seohyun tertawa sinis, “Aku mengerti kondisimu.” Dia memandang Yoona dan tersenyum, “Eomma menjual ayam goreng di Yongsan, Appa bekerja sebagai supir truk dan jarang sekali pulang ke rumah. Aku juga bersykur dapat makan setiap hari.”

Yoona terkejut mendengar pernyataan itu dari Seohyun, “Ah, unnie, kupikir…”

“Ya, kita impas, kan?”

“Yep.” Tidak lama kesadaran mulai menelusup dalam benak Yoona, “Jadi, kondisimu dan apa yang kau miliki saat ini, bukan karena berasal dari keluarga kaya?”

Seohyun tertawa kencang, pertama kalinya Yoona melihat ini.

“Wow. Aku semakin suka denganmu.”

Kening Seohyun kembali berkerut. “Hmn, aku tidak dapat mengabaikan ini terus menerus.” Seohyun berdeham, “Kau selalu mengucapkan hal-hal ini. Suka denganku dan sebagainya. Apa maksudmu?”

“Tidak ada maksud? Aku benar-benar mengucapkan apa yang kurasakan.”

“Bahwa kau suka denganku?”

Yoona mengangguk.

Mendadak Seohyun kehabisan kata-kata. Otaknya mulai berputar mempertimbangkan beberapa kemungkinan, suka seperti apa?

Yoona menatap wajah Seohyun yang gusar lekat, menahan tawanya kuat-kuat, “Saat pertama kali aku melihatmu masuk ke dalam kedai, aku benar-benar merasa tertarik, setiap langkah yang penuh perhitungan, jemari yang bergerak dengan begitu anggun dan pasti. Entah apakah kau menyadarinya, penampilanmu selalu sempurna.” 

Tentu saja Seohyun menyadarinya, dia selalu memutuskan busana yang akan dikenakan dengan penuh perhitungan, warna, mood, serta kesan seperti apa yang ingin ditonjolkannya pada hari itu. Beberapa minggu ini, dia mempertimbangkan pakaian yang dikenakannya lebih dari biasanya. Seohyun lega Yoona menyadarinya.

“Aku seringkali melihatmu fokus pada buku dan pekerjaanmu, tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarmu, seperti ada banyak sekali hal yang berputar di kepalamu. Entah kenapa, aku merasa kau pada saat seperti itu benar-benar mempesona.

“Jadi, setelah beberapa minggu memperhatikanmu, akhirnya aku memutuskan untuk mengajakmu berkenalan.”

“Bukankah hari itu kau baru bekerja di kedai itu?”

Yoona tertawa, “Kau benar-benar tidak pernah menyadari keberadaanku, ya? Aku sudah bekerja beberapa minggu di kedai itu.”

“Jadi…”

“Jadi aku suka denganmu, seperti itu, karena alasan itu.”

“Tetap tidak menjelaskan rasa suka yang kau maksud?”

Yoona memandangnya tidak percaya.

“Apakah kau suka karena aku cocok sebagai temanmu, atau…”

Detik berikutnya, Yoona mendekap kedua lengan Seohyun dan menariknya mendekat. Hingga Seohyun dapat merasakan hangatnya napas Yoona. Mata mereka beradu. Napas Seohyun tercekat, merasa terkejut dan jika jantungnya bisa berdegup lebih cepat dari ini, dia akan mati sebentar lagi.

“Aku suka denganmu seperti ini…”

Yoona menghabiskan jarak di antara mereka, di antara bibir mereka.

Seohyun terkesiap saat merasakan bibir Yoona yang lembut bersentuhan dengan bibirnya, dia dapat mencium aroma tembakau dan beer yang bercampur samar. Entah kenapa, dia tidak keberatan. Membuatnya semakin ingin mendekat dan memperdalam ciuman mereka.

Ciuman mereka…

Bibir Yoona bergerak perlahan, mengecup dan melumat bibirnya. Membuat Seohyun mengeluh pelan. Dengan ragu tangannya bergerak naik dan menangkup wajah Yoona. Detik sebelumnya, dia tidak pernah sadar bahwa ini yang benar-benar dia ingin lakukan pada Yoona. Pagi itu, menatap bibir Yoona yang tertidur, tipis dan mengundang, inilah yang ingin dia lakukan. Tidak pernah menyadarinya. Bodoh.

Perlahan namun pasti, Seohyun membalas ciumannya, membiarkan keinginan dan hasratnya bercampur dalam kecupan itu. Sederhana dan apa adanya. Emosi yang membuncah dan hati yang menghangat. Seohyun membiarkan kontrol yang mengekang dirinya lepas saat itu juga. Menikmati bagaimana bibir Yoona yang bergerak semakin sensual membuat seluruh tubuhnya meremang, dan menimbulkan reaksi tertentu.

Sesaat kemudian Yoona melepaskan ciumannya dan bergerak menjauh. Seohyun membuka matanya yang terpejam rapat, mendapati senyuman semringah Yoona. Merekam dalam ingatan lekat-lekat mata Yoona yang membulat dengan indah dan penuh rasa bahagia.

“Aku suka denganmu seperti itu…”

“Iya, cukup jelas.” Suara Seohyun serak karena hasrat yang menggebu.

“Kenapa kau membalas ciumanku, unnie?”

Lidah Seohyun kelu, kenapa Yoona menanyakan pertanyaan ini. Otaknya berputar keras, mencari-cari formula yang tepat untuk menjawab pertanyaan ini. Beberapa poin menjadi kesimpulannya. 

Satu, tentu saja Yoona sangat cantik dan menawan. Dua, Seohyun semakin rindu dengan kehadirannya, hingga menghabiskan hampir setiap malam di tempatnya bekerja, rasa hangat yang terpancar dari dalam dirinya membuat Seohyun menghangat. Hatinya yang dingin menghangat. Tiga, untuk pertama kali dalam belasan tahun hidupnya, dia tidak lagi kesepian, dia tidak lagi membenci hidupnya seperti sebelum bertemu dengan Yoona.

“Karena… aku juga suka denganmu, seperti itu…”

Adalah jawaban yang akhirnya terucap.

Yoona tersenyum, ekspresinya tampak begitu lembut.

“Aku ada begitu banyak pertanyaan untukmu, unnie.”

“Satu pertanyaan untuk malam ini.”

“Kenapa kau tidak pernah makan siang, selalu dua shot espresso?”

“Karena…” Seohyun mengetuk dagunya, “…aku lebih suka makan di pagi hari dan malam hari?”

“Sesederhana itu?”

Seohyun tertawa, “Tidak juga. Kau bisa tanya soal alasannya di kesempatan lain. Satu pertanyaan untuk malam ini.”

Yoona kembali beringsut maju dan mengecup pipinya, berbisik perlahan, “Berarti akan ada kencan selanjutnya, ya?”

Wajah Seohyun kembali memerah, tubuhnya meremang merasakan napas Yoona yang hangat di telinganya.

Seohyun mengecek jam di pergelangan tangannya, pukul 12 malam. Lagi-lagi terlalu larut untuk Yoona pulang ke goshiwon?

“Sepertinya berbahaya kalau kau pulang ke goshiwon malam ini?”

Yoona mengerling dan menepuk lengan Seohyun, “Hmn, sungguh cerdas.”

“Apartemenku?”

“Aku akan mengotori kamar mandimu lagi besok pagi. Aku tahu kau terganggu karena itu, unnie. Kamar mandimu sungguh tidak bercela.”

“Hmn, ahjumma akan datang besok sore untuk bersih-bersih. Jadi, sepertinya tidak ada masalah?” Seohyun menyeringai menunjukkan deret giginya.

“Jadi kau benar-benar terganggu karena kamar mandimu kukotori ya, kau tidak menyanggahnya.”

“Aku… terlalu perfeksionis.”

“Terlihat jelas.”

Seohyun melarikan jemarinya, menelusuri lekuk wajah Yoona. Mengusap ibu jarinya di pipi Yoona. Dia tidak lagi dapat berpikir jernih. Untuk pertama kalinya, malam ini hanya Yoona yang mengisi ruang di pikirannya. Bukan hal lain, orang lain, atau obsesinya. Hanya Yoona. Entah mengapa, terasa melegakan.

“Seperti oksigen.”

“Mian?” tanya Yoona.

Seohyun hanya menggeleng, “Untuk lain waktu.”

Seohyun menarik napas dalam-dalam. Menatap langit gelap yang terasa semakin pekat, namun di sana, dia juga dapat melihat bulan yang bercahaya terang. Bulat sempurna. Seperti gadis di hadapannya, sempurna.

****

Seperti sebuah pertemuan seharusnya, acap kali tidak berkesan, namun dalam beberapa kesempatan, pertemuan meninggalkan jejak yang jelas dalam ingatan. Kadang dirasakan oleh kedua belah pihak, kadang tidak berbalas. 

Bagi Seohyun, pertemuan yang tidak berkesan, meninggalkan jejak yang jelas dalam hidupnya. Dalam sunyi dan muramnya. Dalam dingin dan sepinya.

Dua perempuan yang jatuh cinta dan saling berbagi tentang hidup mereka. Melewati tahun-tahun yang indah bersama. Tidak pernah terbesit bagi Seohyun semuanya dapat hilang dalam sekejap. Terenggut dengan mudah. Karena dirinya, karena obsesinya.

Namun hari ini, malam ini, tidak ada emosi lain yang dirasakannya selain bahagia, hangat dan lega. Merengkuh Yoona dalam pelukannya, mungkin sesuatu yang selalu dicarinya selama ini.

THE END

The Afternoon is a short story, part of Step Sister universe. kindly check my on going Step Sister series for more YoonHyun stories (or moment) for the interest of relevancy. Cheers!

1 thought on “The Afternoon (One-Shot)

  1. X

    Well… imho, ceritanya rapi meskipun alurnya sedikit kecepetan. Nyaris ga ada typo disini, good job. TAPI, berhubung ini main characternya member SNSD yg mana Yoona is older than Seohyun, harusnya ya Seohyun yg manggil unnie ke Yoona, bukan sebaliknya. Ya tapi gapapa jg sih mau gimana penyebutannya (namanga jg fan fiction yekan hehe). Terus kalo mau pake istilah bahasa korea jangan nanggung. Disini cuma ada Unnie sama Mian doang. Mendingan gausah sama sekali atau diperbanyak sekalian kosakatanya.
    Oh iya satu lagi, pengenalan karakternya masih agak kurang. Mungkin bisa ditambah beberapa halaman untuk memperjelas background mereka jadi biar feelnya makin dapet.
    Dah itu aja. Thx 🙏

    Reply

Leave a comment